Senin, 01 Februari 2016

Teori Pendidikan Behaviorisme



  A. Pendahuluan
            Dalam dunia pendidikan, beberapa teori belajar sangat berpengaruh terhadap konsep belajar. Pemahaman terhadap teori belajar ini diperlukan bagi para pendidik dalam menganalisis tingkah laku belajar peserta didiknya, di samping dapat diaplikasikan sesuai dengan situasi belajar yang dihadapi. Teori-teori yang dikemukakan berikut ini didasarkan pada hasil penelitian para ahli psikologi yang umumnya didominasi oleh Amerika sejak tahun 1898, sejak Edward L. Thorndike mengemukakan tulisannya mengenai Animal/ Intelligence.

B.    Pengertian Teori Belajar Behavioristik
 Teori behavioristik adalah teori beraliran behaviorisme yang merupakan salah satu aliran psikologi. Teori belajar behavioristik ini dikenal dengan sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.[1]
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon.
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya.[2] Misalnya, siswa belum dapat dikatakan berhasil dalam belajar Ilmu Pengetahuan Sosial jika dia belum bisa atau tidak mau melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti kerja bakti, ronda dan lain-lain.
Menurut teori behavioristik yang terpenting adalah :
1.       Masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon.
            Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya, alat perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu untuk membantu belajar siswa. Sedangkan respon adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan guru tersebut.
Teori ini juga mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
2.       Penguatan (reinforcement)
Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Misalnya, ketika peserta didik diberi tugas oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan maka ia akan semakin giat belajarnya, maka penambahan tugas tersebut merupakan penguatan positif dalam belajar, begitu juga sebaliknya.
Prinsip-prinsip behaviorisme adalah [3] :
1)       Objek psikologi adalah tingkah laku.
 Belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Jadi yang menjadi objek dalam teori belajar behaviorisme adalah perubahan tingkah laku siswa setelah proses pembelajaran di kelas.
2)        Semua bentuk tingkah laku dikembalikan pada reflek.
        Prinsip behaviorisme ini mengacu pada hasil percobaan Pavlov, yang mengungkapkan bahwa seekor anjing percobaan akan melakukan gerakan reflek semula ketika mendapat stimulus bersyarat. Ia akan mengeluarkan air liur lagi bila mencium bau amis daging atau tulang yang disodorkan kepadanya.
        Dalam proses belajar mengajar di kelas, apabila siswa diberi stimulus bersyarat (hadiah, ganjaran, nilai baik, dapat beasiswa), maka perangsang bersyarat tadi akan menimbulkan aktivitas belajar yang makin intensif dari biasanya. 
3)        Mementingkan terbentuknya kebiasaan.
 Prinsip behaviorisme ini mengacu pada hukum Guthrie bahwa tingkah laku manusia secara keseluruhan merupakan deretan tingkah laku yang terjadi dari bagian-bagian dari yang sebelumnya. Bagian-bagian atau unit tingkah laku ini adalah respon atau reaksi terhadap perangsang-perangasang sebelumnya dan selanjutnya unit tingkah laku ini akan menjadi perangsang bagi unit tingkah laku berikutnya. Stimulus pertama dalam belajar menjadikan terjadinya respon kegiatan untuk belajar. Respon terhadap belajar ini selanjutnya menjadi stimulus untuk kegiatan belajar berikutnya.
C.       Tokoh-Tokoh dan Pemikirannya terhadap Teori Belajar Behavioristik.
1. Teori Koneksionis Edward L. Thorndike (1874-1949)
            Thorndike adalah seorang pendidik dan sekaligus psikolog berkebangsaan Amerika. Menurutnya, belajar merupakan proses interaksi antara Stimulus (S) yang mungkin berupa pikiran, perasaan atau gerakan dan Respon (R) yang juga berupa pikiran, perasaan atau gerakan.
Stimulus adalah perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat. Sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang.
            Dasar ada teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike berawal dari hubungan (connection) antara kesan-kesan yang ditimbulkan oleh serapan alat indera terhadap objek pengamatan dan dengan dorongan yang ada dalam diri untuk berbuat. Hubungan yang terjadi antara kesan yang diterima dengan dorongan untuk berbuat ini disebutnya bond (ikatan) atau connection (hubungan).  Menurut teori Thorndike ini, bahwa peralatan (mediator) antara stimulus atau perangsang yang datang dari luar dan mengenai tubuh adalah sistem persyarafan. Sistem persyarafan inilah yang berfungsi menghubungkan perangsang yang datang dengan respon dari orang yang bersangkutan, maka terjadilah perbuatan belajar yang dapat diperoleh melalui warisan keturunan dan dari hasil perolehan dari pengalaman melalui belajar.[4]
            Dalam pengalaman empiri bond atau connection ini bisa menguat dan bisa pula melemah dalam membentuk atau memecahkan kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki. Dari percobaannya yang terkenal (problem box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respon, perlu adanya kemampuan untuk memilih respon yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trial) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling
dasar dari belajar adalah Trial and Error learning atau selecting and conecting learning dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Percobaan yang tipikal yang dilakukan oleh Thorndike kepada orang belajar, ialah orang dihadapkannya pada situasi yang mengandung masalah yang mengharuskan dan mendorongnya untuk keluar dari masalah tersebut seperti seekor binatang kelaparan yang dimasukkannya ke dalam kotak bermasalah, yang pada bagian lainnya terdapat masalah. Binatang ini akan mencoba mencoba mencari jalan yang banyak rintangan untuk mencapai makan yang tersedia itu. Demikian pula halnya manusia yang sedang belajar, ia akan mencoba melakukan berbagai cara dan kemungkinan untuk keluar dari masalah atau memecahkannya.
            Edward L. Thorndike dalam teori connectionism dari Amerika Serikat, menyatakan bahwa dasar dari belajar adalah asosiasi antara kesan panca indera dan inplus untuk bertindak atau terjadinya hubungan antara stimulus dan respon disebut Bond, sehingga dikenal dengan teori S – R Bond. Didalam belajar terdapat dua hukum, yaitu hukum primer dan hukum sekunder.
a. Hukum primer terdiri atas :
1)        Law of Readiness, yaitu kesiapan untuk bertindak itu timbul karena penyesuaian diri dengan  
       sekitarnya yang akan memberikan kepuasan
2)      Law of Exercise and Repetation, sesuatu itu akan sangat kuat bila sering dilakukan diklat
       dan pengulangan
3)        Law of Effect, yaitu perbuatan yang diikuti dengan dampak atau pengaruh yang memuaskan
       cenderung ingin diulangi lagi dan yang tidak mendatangkan kepuasan akan dilupakan
b. Hukum sekunder terdiri atas :
1)       Law of Multiple Response, yaitu sesuatu yang dilakukan dengan variasi uji coba dalam
       menghadapi situasi problematis, maka salah satunya akan berhasil juga.
2)        Law of Assimilation, yaitu orang yang mudah menyesuaikan diri dengan situasi baru, asal
       situasi itu ada unsur bersamaan
3)       Law of Partial Activity, seseorang dapat beraksi secara selektif terhadap kemungkinan yang
       ada di dalam situasi tertentu.[5]
2.      Teori Kondisioning John B. Watson (1878-1959)
            Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi meskipun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu di- perhitungkan karena tidak dapat diamati.
            Watson adalah seorang behaviorist murni, karena kajianya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur. Hanya dengan asumsi seperti itulah, menurut watson,  kita dapat meramalkan perubahan apa yang bakal terjadi pada siswa.
3.       Teori Belajar Kondisioning Edwin R. Guthrie (1886-1959)
            Edwin R. Ghutrie pada awalnya ia seorang ahli tingkah laku atau behaviorist Amerika yang dalam beberapa aspek mengikuti dan sejalan dengan Thorndike dan Pavlov. Teori belajarnya didasarka pada hubungan antara stimuls dan response (S-R).
            Hukum belajar Ghutrie adalah “berbagai perangsang yang disertai oleh gerakan akan menimbulkan gerakan pula.” Perangsang dan gerakan berhubungan secara spontan dan stimultan. Menurut Ghutrie dalam Rasyad (2006:58) bahwa tingkah laku manusia secara keseluruhan merupakan deretan tingkah laku yang terjadi dari bagian-bagian dari yang sebelumnya. Bagian-bagian atau unit tingkah laku ini akan menjadi perangsang (stimulus) pula bagi unit tingkah laku berikutnya yang disebutnya sebagai hukum prima asosiasi berdasarkan sambung-menyambung atau the primary law of association by contiguity.[6] Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontinguiti. Hukum kontinguiti yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama. Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan hanya sekedar melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru.
            Teori Guthrie ini mengatakan bahwa hubungan stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karenanya dalam kegiatan belajar, peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stumulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa 
hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
4.      Teori  Operant Conditioning Skinner
            Skinner adalah seorang yang berkebangsaan Amerika yang dikenal sebagai seorang tokoh behaviorist yang meyakini bahwa perilaku individu dikontrol melalui proses operant conditioning, yaitu bahwa seseorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan yang relatif besar.
Menagemen kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat. Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
Teori belajar behavioristik ini telah lama dianut oleh para guru dan pendidik, namun dari semua pendukuung teori ini, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar Behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-fktor penguat  merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skinner.[7]
Menurut Skinner,  berdasarkan percobaanya terhadap tikus dan burung merpati, unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah penguatan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan (penguatan positif dan penguatan negatif).
Bentuk penguatan positif berupa hadiah, perilaku, atau penghargaan. Sedangkan bentuk penguatan negatif adalah antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan
tugas tambahan, atau menunjukkan perilaku tidak senang.
Skinner tidak percaya pada asumsi yang dikemukakan Guthrie bahwa hukuman memegang peranan penting dalam proses pelajar. Hal tersebut menurut Skinner dikarenakan:
1)        Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
2)        Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa
         terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
3)        Hukuman mendorong si terhukum mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar  ia
        terbebas dari hukuman.
4)        Hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih
        buruk dari pada kesalahan pertama yang diperbuatnya. Skinner lebih percaya dengan apa
        yang disebut penguatan baik negatif maupun positif.[8]
5.       Teori Kondisi Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)
Dalam pemikiranya Pavlov berasumsi bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang diinginkan. Berangkat dari asumsi tersebut Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihanya secara hakiki, manusia berbeda dengan binatang.
Pavlov mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi leher pada seekor anjing. Sehingga keluar kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluar air liur anjing tersebut. Kemudian dalam percobaan berikutya sebelum  makanan diperlihatkan, diperlihatkanlah sinar merah terlebih dahulu, kemudian baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan demikian di lakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar pula.
Makanan adalah rangsangan wajar, sedangkan merah rangsangan buatan. Ternyata kalau
perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Dari eksperimen tersebut, setelah
pengkondisian atau pembiasaan, dapat diketahui bahwa daging yang menjadi stimulus alami dapat digantikan oleh sinar merah sebagai stimulus yang dikondisikan (conditioned stimulus).[9] Ketika sinar merah dinyalakan ternyata air liur anjing keluar sebagai responnya. Pavlov berpendapat bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih sebagaimana tersebut.
Apakah situasi ini bisa diterapkan pada manusia? Ternyata dalam kehidupan sehari-hari ada situasi yang sama pada anjing. Sebagai contoh, suara lagu dari penjual es cream Walls yang berkeliking dari rumah ke rumah. Awalnya mungkin suara itu asing, tetapi setelah si penjual es cream sering lewat, maka nada lagu tersebut bisa menerbitkan air liur.
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
D.  Aplikasi teori behavioristik dalam pembelajaran.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran yaitu  karena memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap dan tidak berubah  pengetahuan disusun dengan rapi sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowladge) kepada orang yang belajar. Fungsi pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berfikir yang dapat dianalisis dan dipilih, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berfikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Secara umum langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik yang dikemukakan oleh Sociati dan Prasetya Irawan (2001) dapat digunakan dalam merancang pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran tersebut antara lain :

1)       Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran
2)        Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi pengetahuan
        awal siswa
3)       Menentukan materi pembelajaran
4)       Memecah materi pembelajaran menjadi bagian kecil-kecil, meliputi pokok bahasan, sub
        pokok bahasan, topik dsb
5)       Menyajikan materi pembelajaran
6)       Memberikan stimulus, dapat berupa, pertanyaan baik lisan maupu tertulis, tes atau kuis,
        latihan atau tugas-tugas
7)       Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan siswa
8)        Memberikan penguatan atau reinforcement (mungkin penguatan positif ataupun penguatan
        negatif), ataupun hukuman
9)       Memberikan stimulus baru
10)    Memberikan penguatan lanjutan atau hukuman
11)     Evaluasi belajar.[10]
            Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
E.    Tujuan Pembelajaran Behaviorisme
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas mimetik, yang menuntut pembelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada keterampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan.
1.     Berkomunikasi atau transfer prilaku adalah pengambaran pengetahuan dan kecakapan
      peserta didik (tidak mempertimbangkan proses mental).
2.      Pengajaran adalah untuk memperoleh keinginan respon dari peserta didik yang dimunculkan
      dari stimulus.
3.      Peserta didik harus mengenali bagaimana mendapatkan respon sebaik mungkin pada kondisi
       respon diciptakan.[11]
            Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks atau buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks atau buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
            Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara benar sesuai dengan keinginan guru, hal ini
menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.

F.       Prinsip-prinsip Teori Pembelajaran Behavioristik
Dalam pembelajaran behavioristik pembelajaran merupakan penguasan respons (Acquisition of responses) dari lingkungan yang dikondisikan. Peserta didik haruslah melihat situasi dan kondisi apa yang yang menjadi bahan pembelajaran.
Berikut ini adalah prinsip-prinsip pembelajaran behavioristik yang menekankan pada pengaruh lingkungan terhadap perubahan perilaku.
1)     Menggunakan prinsip penguatan, yaitu untuk mengidentifikasi aspek paling diperlukan
      dalam pembelajaran untuk mengarahkan kondisi agar peserta didik dapat mencapai
       peningkatan yang diharapkan dalam tujuan pembelajaran.
2)      Menidentifikasi karakteristik peserta didik, untuk menetapkan pencapaian tujuan
       pembelajaran.
3)     Lebih menekankan pada hasil belajar daripada proses pembelajaran.[12]
             Dalam bukunya Skinner juga memuat tentang prinsip-prinsip behavioristik.  Berikut ini prinsip yang dikemukakan oleh Skinner dalam bukunya yang berjudul The Behavior of Organism.
            Beberapa prinsip Skinner:
1)      Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar
      
diberi penguat.
2)      Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
3)      Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
4)      Dalam proses pembelajaran, tidak digunkan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah,
      
untukmenghindari adanya hukuman.
5)      dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktifitas sendiri.
6)      Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan
      
dengan digunakannya jadwal variabel Rasio rein forcer.
7)      Dalam pembelajaran digunakan shaping.[13]
G.     Kelebihan dan kekurangan dalam teori pembelajaran behavioristik
Kelebihan, kekurangan dan permasalahan yang muncul dalam pembelajaran
Sesuai dengan teori ini, guru dapat menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi intruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hirarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.
Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan.
a.       Kelebihan
Dalam teknik pembelajaran yang merujuk ke teori behaviouristik terdapat beberapa kelebihan di antaranya :
1)      Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi belajar.
2)      Metode behavioristik ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang menbutuhkan
       praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: kecepatan, spontanitas,
       kelenturan, refleksi, daya tahan, dan sebagainya.
3)      Guru tidak banyak memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar mandiri. Jika
       menemukan kesulitan baru ditanyakan kepada guru yang bersangkutan
4)      Teori ini cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi
       peran orang dewasa , suka mengulangi dan harus dibiasakan , suka meniru dan senang
       dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.[14]
b.      Kekurangan
            Teori Thorndike terlalu memandang manusia sebagai mekanisme dan otomatisme disamakan hewan.
1)      Memandang belajar merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan respon.
2)     Mengabaikan pengertian belajar sebagai unsure pokok.
3)     Proses belajar berlangsung secara teoritis.
            Selain teorinya, beberapa kekurangan perlu dicermati guru dalam menentukan teknik     pembelajaran yang mengacu ke teori ini, antara lain:
a)      Sebuah konsekuensi bagi guru, untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah  
       siap.
b)      Tidak setiap mata pelajaran bisa menggunakan metode ini.
c)     Penerapan teori behavioristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi    siswa yaitu guru sebagai sentral, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah,  guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid
d)     Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan menghafalkan apa yang  
      didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif
e)      Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap
       metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa
f)       Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang
      diberikan guru.

H. Analisis Tentang Teori Behavioristik
            Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar adalah  sebagai suatu proses perubahan tingkah laku. Reinforcement dan punishment sebagai stimulus untuk merangsang pembelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang kompleks (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Diantara teori tersebut, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pembelajar untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
1)         Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;
2)       Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
3)       Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan.
Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif.
I. Penutup
Behavioristik merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek–aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar.
Menurut teori ini, peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Refleks yang bisa memberikan respon kepada peserta didik dalam proses pembelajaran.
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku berupa reinforcement dan punishment, menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas mimetik, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes.
            Tokoh-Tokoh dan Pemikirannya terhadap Teori Belajar Behavioristik.
a.         Pavlov : Classic Conditioning
b.        Skinner : Operant conditioning
c.         Edwin Gut hrie : Conditioning
d.        Watson : Conditioning
e.        Thorndike : koneksionisme.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.


DAFTAR PUSTAKA

Budiningsih, C., Asri. 2005.  Belajar dan Pembelajaran.  Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kamalfachri, “Teori Behavioristik”, dalam Website file:///H:/Teori behavioristik dan
            Permaslahan
/Kamalfachri. Weblog.htm
, data diakses pada tanggal 2 Juni 2011.
Gage, N.L., & Berliner, D. 1979.  Educational Psychology.
Hall S. Calvin & Lindzey, Gardner, Psikology kebribadian 3, Teori-Teori sifat dan              behavioristik(diterjemahkan dari bukuTheories of personality, New york, Santa barbara
            Toronto, 1978) , yogyakarta: Kanisius, 1993.
Rasyad, Aminuddin. 2006. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:PPS UHAMKA.
Riyanto, Yatim. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Pranada Media Group.
Skinner, The Behavior of Organism, 1989.
Slavin, Belajar dan Pembelajaran, 2000.
Yamin, Martinis. 2011.  Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta : Gaung Persada Press.
Warsita, Bambang.2008. Teknologi Pembelajaran, Jakarta: PT Rineka Cipta.
























[1] N.L. Gegne dan D. Berliner, Educational Psychology, 1979, hlm. 13.
[2] Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta:PT Rineka Cipta, 2005, hlm. 20

 

[3] Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran, Jakarta:Pranada Media Group, 2009, hlm. 6
[4] H. Aminudin Rasyad, Teori Belajar dan Pembelajaran, Jakarta:UHAMKA Press, 2006, hlm. 42.
[5] Budiningsih, loc. cit, hlm. 6.
[6] Rasyad, loc. cit, hlm. 58.
[7] Budiningsih, loc.cit, hlm. 6.
[8] Hall S. Calvin & Lindzey, Gardner, Psikology kebribadian 3, Teori-Teori sifat dan              behavioristik(diterjemahkan dari bukuTheories of personality, New york, Santa barbara
            Toronto, 1978) , yogyakarta: Kanisius, 1993.
[9] Calvin, op.cit.
[10] Yatim, loc. cit,hlm. 30.
[11] Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, Jakarta:Gaung Persada Press:2010, hlm. 18.
[12] Bambang Warsita, Teknologi Pembelajaran, Jakarta:Rineka Cipta:2008, hlm. 88
[13] Skinner, The Behavior of Organism, 1989, hlm. 65.
[14] Kamalfachri, “Teori Behavioristik”, dalam Website file:///H:/Teori behavioristik dan
            Permaslahan
/Kamalfachri. Weblog.htm
, data diakses pada tanggal 2 Juni 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar