A. Landasan Teori
Landasan Teori sangat penting dalam
sebuah penelitian terutama dalam penulisan skripsi peneliti tidak bisa
mengembangkan masalah yang mungkin di temui di tempat penelitian jika
tidak memiliki acuan landasan teori yang mendukungnya.Dalam skripsi landasan
teori layaknya pondasi pada sebuah bangunan. Bangunan akan terlihat
kokoh bila pondasinya kuat, begitu pula dengan penulisan skripsi, tanpa
landasan teori penelitian dan metode yang digunakan tidak akan berjalan lancar.
Peneliti juga tidak bisa membuat pengukuran atau tidak memiliki standar
alat ukur jika tidak ada landasan teori.Seperti yang diungkapkan oleh Sugiyono
(2012:52), bahwa landasan teori perlu ditegakkan agar penelitian itu
mempunyai dasar yang kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and
error).
Landasan teori adalah seperangkat
definisi, konsep serta proposisi yang telah disusun rapi serta sistematis
tentang variable-variabel dalam sebuah penelitian. Landasan teori ini akan
menjadi dasar yang kuat dalam sebuah penelitian yang akan dilakukan. Pembuatan
landasan teori yang baik dan benar dalam sebuah penelitian menjadi hal
yang penting karena landasan teori ini menjadi sebuah pondasi serta
landasan dalam penelitian tersebut.Yang dibahas pada bagian ini adalah
teori-teori tentang ilmu-ilmu yang diteliti.Penyajian teori dalam landasan
teori dianggap tidak terlalu sulit karena bersumber
dari bacaan-bacaan.Akibatnya terjadilah penyajian materi yang tidak
proporsional, yaitu mengambil banyak teori walaupun tidak mendasari bidang yang
diteliti.
Jadi seharusnya teori yang
dikemukakan harus benar-benar menjadi dasar bidang yang diteiti.Selain itu,
pada bagian ini juga dibahas temuan-temuan penelitian sebelumnya yang terkait
langsung dengan penelitian. Teori yang ditulis orang lain atau temuan
penelitian orang lain yang dikutip harus disebut sumbernya untuk menghindari
tuduhan sebagai pencuri karya orang lain tanpa menyebut sumbernya. Etika ilmiah
tidak membenarkan seseorang melakukan pencurian karya orang lain.
Menurut Neuman 2003 (dalam Sugiyono,
2012) teori adalah seperangkat konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang
berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematis melalui spesifikasi hubungan
antar variabel, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan
fenomena. Selanjutnya pengertian teori menurut Djojosuroto Kinayati & M.L.A
Sumaryati, Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruk, dan proposisi
untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan
hubungan antar konsep. Kata teori sendiri memiliki arti yang berbeda-beda pada
setiap bidang pengetahuan, hal itu tergantung pada metodologi dan konteks
diskusi. Secara umum, teori merupakan analisis hubungan antara fakta/fenomena
yang satu dengan fakta yang lain pada sekumpulan fakta-fakta.
Berdasarkan beberapa pengertian
diatas secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu teori adalah suatu
konseptualitas antara asumsi, konstruk, dan proposisi untuk menerangkan suatu
fenomena yang diperoleh melalui proses sistematis, dan harus dapat diuji
kebenarannya, bila tidak maka itu bukan teori. Teori semacam ini mempunyai
dasar empiris, dimana harus melalui proses eksperimen, penelitian atau
observasi, sehingga teori dapat dikatakan berhasil. Adapun pengertian dari
Asumsi, konsep, konstruk dan proposisi dalam sebuah teori (menurut Djojosuroto
kinayati & M.L.A Sumayati: 2004) adalah sebagai berikut:
1. Asumsi
adalah suatu anggapan dasar tentang realita, harus diverifikasi secara empiris.
Asumsi dasar ini bisa memengaruhi cara pandang peneliti terhadap sebuah
fenomena dan juga proses penelitian secara keseluruhan, karena setiap penelitian
pasti menggunakan pendekatan yang berbeda sehingga asumsia dasarnya pun berbeda
pada setiap penelitian.
2. Konsep
adalah istilah, terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan suatu gejala
atau menyatakan suatu ide (gagasan ) tertentu.
3. Konstruk
adalah konsep yang ciri-cirinya dapat diam langsung seperti pemecahan masalah.
4. Proposisi
adalah hubungan yang logis antara dua konsep.
Menurut Mark
1963, dalam (Sugiyono,2012) membedakan adanya tiga macam teori. Ketiga teori
yang dimaksud ini berhubungan dengan data empiris, teori ini antara lain:
1. Teori yang
Deduktif: memberi keterangan yang dimulai dari suatu perkiraan, atau pikiran
spekulatis tertentu kearah data akan diterangkan.
2. Teori
Induktif: cara menerangkan adalah dari data ke arah teori. Dalam bentuk ekstrim
titik pandang yang positivistik ini dijumpai pada kaum behaviorist
3. Teori
fungsional: disini nampak suatu interaksi pengaruh antara data dan perkiraan
teoritis, yaitu data mempengaruhi pembentukan teori dan pembentukan teori
kembali mempengaruhi data. Teori adalah alur logika atau penalaran, yang
merupakan seperangkat konsep, definisi, dan proposisi yang disusun secara
sistematis. Menurut (Sugiyono,2012) fungsi teori secara
umum adalah:
a.
Menjelaskan (explanation). Misalnya, Mengapa air yang
mendidih pada suhu 100°C bisa menguap, dapat dijawab dengan teori yang
berfungsi menjelaskan.
b.
Meramalkan (prediction). Misalnya, bila air didihkan
pada suhu 100°C berapa besar penguapannya, dapat dijawab dengan teori yang
berfungsi meramalkan/memperkirakan.
c.
Pengendali (control). Misalnya, berapa jarak sambungan
rel kereta api yang paling sesuai dengan kondisi iklim indonesia, sehingga
kereta api jalannya tidak terganggu, dapat dijawab dengan teori yang berfugsi
mengendalikan.
Deskripsi teori adalah suatu
rangkaian penjelasan yang mengungkapkan suatu fenomena atau realitas tertentu
yang dirangkum menjadi suatu konsep gagasan, pandangan, sikap dan atau
cara-cara yang pada dasarnya menguraikan nilai-nilai serta maksud dan tujuan
tertentu yang teraktualisasi dalam proses hubungan situasional, hubungan
kondisional, atau hubungan fungsional di antara hal-hal yang terekam dari fenomena
atau realitas tertentu. Dengan menyelam jauh ke dalam deskripsi teori, akan
diketahui kekuatan dan kelemahan suatu teori. Dalam suatu penelitian, deskripsi
teori merupakan uraian sistematis tentang teori dan hasil penelitian yang
relevan dengan variabel yang diteliti. Berapa jumlah teori yang…
B. Konteks dalam Pemelajaran Bahasa
Konteks adalah bagian suatu uraian
atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna situasi yang
ada hubungannya dengan suatu kejadian.Sementara Purwo (2001:4) menjelaskan
konteks adalah pijakan utama dalam analisis pragmatik.Konteks ini meliputi
penutur dan petutur, tempat, waktu, dan segala sesuatu yang terlibat di dalam
ujaran tersebut.Preston (dalam Supardo, 2000:46) menjelaskan bahwa konteks
sebagai seluruh informasiyang berada disekitar pemakai bahasa termasuk
pemakaianbahasa yangada disekitarnya.Dengan demikian, hal-hal seperti situasi,
jarak tempat dapat merupakan konteks pemakaian bahasa.
Hal ini menekankan pentingnyakonteks
dalam bahasa, yaitu dapat menentukan makna dan maksud suatu ujaran.Supardo
(2000:46) membagi konteks menjadi konteks bahasa (linguistik) dan konteks di
luar bahasa (nonlinguistik).Konteks bahasa berupa unsur yang membentuk struktur
lahir, yakni bunyi, kata, kalimat, dan ujaran atau teks.Konteks nonbahasa
adalah konteks yang tidak termasuk unsur kebahasaan.
Berbeda dengan ahli-ahli di atas,
Hymes (via Sudaryat, 2009:146-150) menjabarkan konteks menjadi delapan jenis
pertama latar (setting, waktu, tempat) yaitu mengacu pada tempat (ruang-space) dan waktu atau tempo (ritme)
terjadinya percakapan. Kedua peserta (particip
ant) mengacu pada peserta percakapan,yakni pembicara dan pendengar.Ketiga
hasil (ends) mengacu pada hasil
percakapan dan tujuan percakapan. Keempat amanat (message) mengacu pada bentuk dan isi amanat. Kelima cara (key), mengacu pada semangat melaksanakan
percakapan. Keenam sarana (instrument),
jalur (chanel) mengacu pada apakah
pemakaian bahasa dilaksanakan secara lisan atau tulis dan mengacu pula pada
variasi bahasa yang digunakan. Ketujuh norma mengacu pada perilaku peserta
percakapan.Kedelapan jenis atau genre yaitumengacu pada kategori bentuk dan
ragam bahasa.
Konteks dapat berupa orang atau
benda, tempat, waktu, bahasa, alat, dan tindakan. Konteks berupa orang adalah
siapa yang berbicara dan dengan siapa ia berbicara. Konteks berupa tempat
adalah di mana ujaran tersebut 10 diucapkan, bagaimana kondisi
masyarakatnya dan norma yang ada di masyarakat. Konteks berupa waktu adalah
kapan ujaran tersebut diucapkan dan dalam situasi bagaimana.Konteks berupa
bahasa adalah bahasa yang mendahului peristiwa tutur tersebut.Konteks berupa
tindakan adalah seluruh perbutan yang berupa unsur di luar bahasa.
Dahulu, ahli-ahli Bahasa
menganalisis kalimat di luar konteks.Arti atau makna dari sebuah kalimat
sebenarnya barulah dapat dikatakan benar bila kita ketahui siapa pembicaranya,
siapa pendengarnya bila diucapkan dan lain-lain.
Oleh sebab itulah, ahli wacana
menganalisis kalimat-kalimat itu dengan menganalisis konteksnya lebih
dahulu.Ahli analisis wacana memperlakukan datanya sebagai teks yang berada
dalam satu konteks.
Filmore mengatakan:
The task is
to determine what we can know about the meaning and context of an utterance
given only the knowledge that the unterance has occurred … I find that whenever
I notice some sentences in context, immediately find myself asking what the
effect would have been if the context had been slightly different. (1997:199).
Dari pernyataan Fillmore ini, kita
ketahui betapa pentingnya konteks itu untuk menentukan makna suatu ujaran. Bila
konteks berubah, berubah pulalah makna ini:
1. Pembicara : seorang ibu
Pendengar : seorang bapak
Tempat : di rumah sendiri
Situasi : sedang menunggu anaknya kembali
dari warung karena
disuruh membeli sesuatu.
Waktu : pukul 10.00 pagi.
Si
anak kembali dan si ibu mengatakan : cepat sekali engkau kembali.
Kalimat ini sungguh menyatakan tentang
cepatnya si anak kembali dari warung tersebut. Tetapi bila hal ini terjadi
pada:
2. Pembicara : seperti di atas
Pendengar : seperti di atas
Tempat : seperti di atas
Situasi : menunggu anaknya yang belum
kembali dari rumah
temannya.
Waktu : pukul 24.30 malam.
Kalimat: “Cepat sekali engkau kembali”, dengan arti kesalahan karena
anaknya terlambat benar kembali tak dapat diterangkan secara semantic
konvensional. Ini harus diterangkan secara pragmatic, karena kata-kata dan
kalimatnya secara semantic tidak memperlihatkan arti seperti tersebut di atas.
Atau dengan kata lain, harus diketahui konteksnya lebih dahulu barulah dapat
diketahui artinya. Jadi, begitu pentingnya mengetahui konteks itu sehingga
mengakibatkan perbedaan yang mencolok Antara dua kalimat yang sama tetapi berbeda
konteksnya.
Konteks
pemakaian Bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu:
1. Konteks
fisik (physical context) yang meliputi tempat terjadinya pemakaian Bahasa dalam
suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu dan
tindakan atau perilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi itu.
2. Konteks
epistemis (epistemic context) atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama
diketahui oleh pembicara ataupun pendengar.
3. Konteks
linguistic (linguistics context) yang terdiri atas kalimat-kalimat atau
tuturan-tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam
peristiwa komunikasi.
4. Konteks
social (social context) yaitu relasi social dan latar setting yang melengkapi
hubungan Antara pembicara (penitur) dengan pendengar (Imam Syafi’ie 1990:126).
Keempat
konteks tersebut mempengaruhi kelancaran komunikasi.Ciri-ciri konteks harus
dapat diidentifikasikan untuk menangkap pesan si pembicara.Mula-mula, kita
lihat betapa pentingnya pemahaman tentang konteks linguistic (3).Karena dengan
itu kita dapat memahami dasar suatu tuturan dalam suatu komunikasi.Tanpa
mengetahui struktur Bahasa dan wujud pemakaian kalimat tentu kita tidak dapat
berkomunikasi dengan baik.Namun, pengetahuan tentang struktur Bahasa itu saja
jelas tidak cukup. Ini harus dilengkapi lagi dengan pengetahuan konteks
fisiknya (1), yaitu di mana komunikasi itu terjadi, apa objek yang dibicarakan,
dan begitu juga bagaimana tindakan pembicara.
Ditambah lagi, pengetahuan tentang konteks
social (4), yaitu bagaimana hunungan Antara si pembicara dan si pendengar dalam
“lingkungan sosialnya”.Dan yang terakhir haruslah dipahami pula konteks
epistemiknya (2), yaitu pemahaman yang sama-sama dipunyai oleh pembicara dan
pendengar. Kalau si pembicara mengemukakan (X) umpamanya, dan si pendengar
tidak mengatahui apa (X) itu, komunikasi akan macet, seperti kalau kita
membicarakan tentang kalimat dengan anak yang baru masuk SD tentu komunikasi
akan macet karena si pendengar (anak tersebut) tidak memahami konteks epistemic
tersebut.
1. Ciri-ciri
konteks
Sudah kita
bicarakan di bawah dalam tiap-tiap peristiwa percakapan (tutur) itu, selalu
terdapat factor-faktor yang mengambil peranan dalam peristiwa itu seperti
penutur, lawan bicara, pokok pembicaraan, tempat bicara dan lain-lain. Si
pembicara akan memperhitungkan dengan siapa dia bicara, tentang apa yang
dibicarakan di mana dibicarakan, bila dibicarakan, situasi bicara dan lain-lain
yang akan membagi warna terhadap pembicaraan itu. Keseluruhan peristiwa itu
disebut speech event (peristiwa tutur).
Peristiwa
semacam itu, jelas terlihat pada suatu diskusi karena di situ akan terlihat:
a.
Tempat diskusi,
b.
Peserta diskusi,
c.
Suasana diskusi,
d.
Tujuan diskusi,
e.
Aturan diskusi,
f.
Ragam diskusi.
Dan
bermacam-macam factor lain yang terdapat dalam diskusi itu.
Dell Hymes
(1972), seorang pakar linguistik terkenal menjelaskan, bahwa suatu peristiwa
tutur harus memenuhi delapan komponen, yang apabila huruf-huruf pertamannya
dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen tersebut adalah:
S (= Setting
and scene)
P (=Participants)
E (= Ends
: Purpose and goal)
A (= Act
sequences)
K (= Key
: tone or spirit of act)
I (= Instrumentalities)
N (=Norms
of Interaction and interpretation)
G (= Gennres)
Pada bukunya
yang lain, Hymes (1964) mencatat tentang ciri-ciri konteks yang relavan itu
adalah:
a.
Advesser (pembicara)
b.
Advesee (pendengar)
c.
Topic pembicaraan
d.
Setting (waktu, tempat)
e.
Channel (penghubungnya: bahan tulisan, lisan dan
sebagainya).
f.
Code (dialeknya, stailnya)
g.
Massage from (debat, diskusi, seremoni agama)
h.
Event (kejadian)
(Gillian
Brown 1983:89)
Contoh Konteks dalam Pemelajaran Bahasa
Untuk
mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan konteks baiklah kita berikan
dahulu sebuah contoh:
a.
Dengan pemogokan kami yang hanya tiga jam itu, telah menyebabkan
majikan menyetujui tuntutan buruh, dengan mengeluarkan Ketua Cabang dari
perusahaan. Kurasa majikan tidak rugi apa-apa.
b.
Ketua berhenti atau tidak, takada arti apa-apa buat
majikan. Itulah dampaknya yang kulihat. Tinggal sekarang organisasi harus
mencari ketua baru yang takdapat disuap. Siapa yang akan dicalonkan dan
bagaimana caranya aku belum tau.
c.
Hanya kata Otong, anggota-anggota mencalonkan ketua
ranting, Masrun menjadi Ketua Cabang, sebab dia benar- benar akan membela
kepentingan buruh. Dan Otong akan menggantikan sebagai Ketua Ranting.
Di teks kedua, banyak yang tidak kita pahami kalau tidak ada teks
pertama.Kata “ketua” pada teks itu tidak jelas pada teks itu.Begitu juga kata
“majikan”, organisasi. Makna dan apa yang jadi referensi dari kata-kata itu
kita ketahui kalau kit abaca teks pertama. Ketua yang dimaksud adalah Ketua
Cabang, majikan adalah buruh-buruh itu, dan organisasi tentulah organisasi
buruh-buruh itu juga.
Begitu juga di teks ketiga. Kata-kata anggota, Ketua Ranting, Ketua Cabang,
buruh akan jelas referensinya kalau kit abaca teks sebelumnya. Kata anggota
pada teks ini adalah anggota organisasi buruh itu, Ketua Ranting adalah ketua
ranting organisasi mereka dan demikian juga Ketua Cabang adalah ketua cabang
organisasi buruh itu.
Teks-teks pendamping teks yang ada jelas teks sebelumnya kita namakan
konteks.Teks pertama tentu tidak mempunyai konteks karena seperti kita
katakana, konteks itu adalah teks sebelumnya.
Seperti pada teks-teks itu, kata-kata diterangkan oleh konteksnya maka
interpretasi terhadap sebuah tuturan di dalam sebuah teks diterangkan oleh
tuturan sebelumnya. Perhatikanlah contoh di bawah ini:
Pak Ridwan
sedang duduk-duduk di ruang tamunya bersama istri dan anaknya. Dia mengambil
surat kabar yang terletak di atas meja. Istrinya berdiri dan membuka
jendela.Anaknya yang berumur 10 tahun itu sedang menekuni bacaannya.
Jelaslah “Dia” pada kalimat kedua harus kita interpretasikan sebagai “Pak
Ridwan”.Meja yang juga terdapat di kalimat kedua jelas terdapat dalam ruang itu.Istrinya
pada kalimat ketiga jelas mesti istri Pak Ridwan yang telah disebutkan pada
kalimat pertama, dan jendela itu juga mestilah yang ada pada ruangan
itu.“Anaknya” pada kalimat keempat mestilah kata interpretasikan sebagai
“anaknya” pada kalimat pertama.Dari contoh ini, kelihatan bahwa kata-kata atau
tuturan diterangkan oleh kata atau tuturan sebelumnya seperti sebuah kata pada
sebuah teks diterangkan oleh teks sebelumnya.
Terkadang, sebuah kata malah menunjuk kepada seluruh konteks yang ada
sebelumnya. Perhatikan contoh surat di bawah ini.
Medan, 10 September 2009
Kepada Sdr.
Abd Rahim
Yang
terhormat,
Dengan ini saya beritahukan kepada Saudara bahwa buku yang Saudara pesan
itu dudah saya kirimkan. Harganya Rp. 65.000,00
Tentang makalah-makalah yang saya janjikan itu masih saya usahakan.Beberapa
sudah dapat saya kumpulkan.
Kalau tidak ada halangan, saya sendiri akan dating ke tempat Saudara pada
hari Minggu tgl. 24 ini.
Hal si Jasmine, seperti Saudara ketahui sudah berangkat ke luar negeri.
Suratnya baru saya terima.
Sekian saya kabarkan kepada Saudara agar Saudara maklum.
Wassalam,
Amin.
Kata sekian pada kalimat itu menunjuk kepada seluruh teks-teks
sebelumnya.Teks “sekianlah…” itu mempunyai konteks empat buah. Dan makna sekian
tidak kita pahami tan pa membaca atau mengetahui konteksnya yang empat buah
itu.