Rabu, 03 Februari 2016

PERAN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER



A. Pentingnya Pendidikan Karakter 
            Wacana pendidikan karakter sepuluh tahun terakhir ini banyak dibicarakan disegala lapisan masyarakat. Dan respon yang timbul dari pakar penddikan serta disiplin lain, merekomendasikan agar pendidikan karakter segera dilakukan. Ada sejumlah alasan mengapa pendidikan karakter perlu dilaksanakan di antaranya adalah : 
                    Pendidikan karakter dapat dijadikan landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu terwujudnya masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab berdasarkan Pancasila. Sebagai upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila daan Pembukaan UUD 1945.
3             Pembangunan karakter bangsa yang selama ini telah dilakukaan belum berhasil sebagaimana diinginkan, karena itu perlu diupayakan seoptimal mungkin. Mengapa belum optimal? Hal itu tercermin masih adanya kesenjangan yang sangat besar dilapangan sosial, ekonomi dan politik. Kerusakan lingkungan yang terjadi diberbagai seluruh pelosok negeri, masih terjadinya ketidakadilan hokum, pergaulan bebas dan pornografi di kalangan remaja, kekerasan dan kerusuhan, korupsi yang merambah di semua sector kehidupan masyarakat. Bahkan saat ini banyak dijumpai tindakan anarkis, konflik sosial, penuturan bahasa yang buruk dan tidak santun dan ketidak taatan berlalu lintas.
               Pendidikan karakter, khususnya Pendidikan karakter bangsa penting dilakukan, karena bangsa Indonesia dengan kejadian-kejadian yang ada menunjukkan telah kehilangan jaati diri dan karakter bangsa. Semua itu bermuara pada (a) disorientasi dan belum dihayati nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi dan ideology bangsa, (b) keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila, (c) bergesernya nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (d) memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, (e) ancaman desintegrasi bangsa, dan (f) melemahnya kemandirian bangsa (buku induk Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025).
                                  Pendidikan karakter penting diupayakan terutama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Dengan meningkatnya kualitas SDM dengan sendirinya dapat menentukan kemajuan suatu bangsa.

Pentingnya pendidikan karakter juga dikemukakan oleh Sulistyowati (2012:5). Menurutnya, ada dua alasan mengapa pendidikan karakter penting, karena ; (1) karakter merupakan hal yang sangat esensial dalam berbangsa dan bernegara. Hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa. Karakter berperan sebagai kemudi dan kekuatan sehingga bangsa ini tidak terombang ambing; dan (2) karakter tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dibangun dengan dan dibentuk untuk menjadi bangsa yang bermartabat,
Bagi pemerintah Indonesia, pendidikan karakter, sangat diprioritaskan karena dapat dijadikan sebagai dasar pembangunan pendidikan. Tentang pentingnya pendidikan karakter juga dikemukakan oleh Mendikbud M. Nuh. Menurutnya pendidikan karakter sangat peenting terutama dalam rangka peningkatan kualitas SDM. Hal ini penting dipersiapkan karena kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas karakter bangsanya. Oleh karena itu pendidikan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Karena usia dini merupakan usia kritis bagi pembentukan karaakter seseorang.
Terkait dengan pendidikan karakter, berikut ada enam pilar karakter yang dapat dijadikan acuan pendidikan . keenam puilar itu adalah ; (1) trustworthiness, bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi berintegritas, jujur, dan loyal; (2) fairness, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki pemikiran  terbuka serta tidak suka memanfaatkan orang lain; (3) caring, bentuk karaakter yang membuat seseoorang memiliki sikap peduli dan perhatian terhadaap orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar; (4) respect, bentuk karakter yang membuat seseorang selalu menghargai dan menghormati orang lain; (5) citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peraturan serta peduli terhadap lingkungan alam; (6) responsibility, bentuk karaakter yang membuat seseorang bertanggungjawab, disiplin, dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik-baik mungkin.  

B. Bagaimana Cara Meningkatkan Pendidikan Karakter
            Salah satu upaya untuk memperbaiki karakter bangsa yang secara kolektif ini sedang mengalami kemunduran atau kerusakan , upaya yang paling mungkin dapat dilakukan melalui pendidikan. Mengapa pendidikan? Karena pendidikan menurut Muslich (2011:vii) merupakan mekanisme institusional yang akan mengakselarasi pembinaan karakter bangsa dan juga berfungsi sebagai arena pencapaian tiga hal principal dalam pembinaan karakter bangsa. Ketiga hal prinsip itu adalah :
            Pendidikan sebagai arena untuk re-aktivitasi karakter luhur bangsa Indonesia. Secara historis bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki karakter kepahlawanan, nasionalisme, sifat heroic, semangat kerja keras serta berani menghadapi tantangan. Kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lampaau adalah bukti keberhasilan pembangunan karakter yang mencetak tatanan masyarakat maju, berbudaya dan berpengaruh.
                          Pendidikan sebagai sarana untuk membangkitkan suatu karakter bangsa yang dapat mengakselerasi pembangunan sekaligus memobilisasi potensi domestik untuk meningkatkan daya saing bangsa.Pendidikan sebagai sarana untuk menginternalisasi kedua aspek di atas, yakni re-aktivasi sukses budaya masa lampau dan karakter inovatif serta kompetitif, ke dalam segenap sendi-sendi kehidupan bangsa dan program pemerintah. Internalisasi ini harus berupa suatu concerted efforts dari seluruh masyarakat dan pemerintah.
Salah satu upaaya peran pendidikan dalam mengembangkan pendidikan karakter adalah mengedepankan peran guru. Menurut Musfiroh (2008), Sedikitnya ada dua belas peran guru yang dapat dilakukan dalam rangka mengembangkan pendidikan karakter, yaitu: 
      1. Menetapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif murid
      2. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif
            3. Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan
      4. Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-masing anak
5    5. Seluruh pendekatan di atas penerapan prinsip-prinsip Developmentality Appropriate Practises;
      6. Membangun hubungan yang supportive dan penuh perhatian di kelas di seluruh sekolah
      7. Model atau (contoh) perilaku positif
      8. Menciptakan peluang bagi siswa untuk menjadi aktif dan penuh makna termasuk kehidupan di kelas
      9. Mengajarkan keterampilan sosial dan emosional secara esensial
     10. Melibatkan siswa dalam wacana moral
     11. Membuat tugas pembelajaran yang penuh maknaa dan relevan untuk siswa
     12. Tak ada yang terabaikan.

C. Peran Pembelajaran Bahasa dan Sastra dalam Pendidikan Karakter
            Pemahaman banyak orang selama ini pendidikan karakter hanya dilakukan oleh mata pelajaran agama dan PPKN, yang laangsung mengajarkan secara verbal dan hal-hal yang berkaitan dengan budi pekerti dan moral. Dalam paradigm modern, pendidikan karakter, sangat efektif apabila diintegrasikan ke dalam mata pelajaran pelajaran lain, termasuk lewat pembelajaran bahasa daan sastra. Dengan demikian pendidikan karakter lebih efektif dilakukan dengan contoh-contoh keteladanan. 

Dikutip dari buku : Prof. Dr. H. Suyatno, M.Pd. Peran Pembelajaran Bahasa dan Sastra Dalam Pendidikan Karakter, 

PERAN KONTEKS DALAM PEMELAJARAN BAHASA


A.      Landasan Teori
Landasan Teori sangat penting dalam sebuah penelitian terutama dalam penulisan skripsi peneliti tidak bisa mengembangkan masalah yang mungkin di temui di tempat penelitian jika tidak memiliki acuan landasan teori yang mendukungnya.Dalam skripsi landasan teori layaknya pondasi pada sebuah bangunan. Bangunan akan terlihat kokoh bila pondasinya kuat, begitu pula dengan penulisan skripsi, tanpa landasan teori penelitian dan metode yang digunakan tidak akan berjalan lancar. Peneliti juga tidak bisa membuat pengukuran atau tidak memiliki standar alat ukur jika tidak ada landasan teori.Seperti yang diungkapkan oleh Sugiyono (2012:52), bahwa landasan teori perlu ditegakkan agar penelitian itu mempunyai dasar yang kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and error).
Landasan teori adalah seperangkat definisi, konsep serta proposisi yang telah disusun rapi serta sistematis tentang variable-variabel dalam sebuah penelitian. Landasan teori ini akan menjadi dasar yang kuat dalam sebuah penelitian yang akan dilakukan. Pembuatan landasan teori yang baik dan benar dalam sebuah penelitian menjadi hal yang penting karena landasan teori ini menjadi sebuah pondasi serta landasan dalam penelitian tersebut.Yang dibahas pada bagian ini adalah teori-teori tentang ilmu-ilmu yang diteliti.Penyajian teori dalam landasan teori dianggap tidak terlalu sulit karena bersumber dari bacaan-bacaan.Akibatnya terjadilah penyajian materi yang tidak proporsional, yaitu mengambil banyak teori walaupun tidak mendasari bidang yang diteliti.
Jadi seharusnya teori yang dikemukakan harus benar-benar menjadi dasar bidang yang diteiti.Selain itu, pada bagian ini juga dibahas temuan-temuan penelitian sebelumnya yang terkait langsung dengan penelitian. Teori yang ditulis orang lain atau temuan penelitian orang lain yang dikutip harus disebut sumbernya untuk menghindari tuduhan sebagai pencuri karya orang lain tanpa menyebut sumbernya. Etika ilmiah tidak membenarkan seseorang melakukan pencurian karya orang lain.
Menurut Neuman 2003 (dalam Sugiyono, 2012) teori adalah seperangkat konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematis melalui spesifikasi hubungan antar variabel, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena. Selanjutnya pengertian teori menurut Djojosuroto Kinayati & M.L.A Sumaryati, Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruk, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Kata teori sendiri memiliki arti yang berbeda-beda pada setiap bidang pengetahuan, hal itu tergantung pada metodologi dan konteks diskusi. Secara umum, teori merupakan analisis hubungan antara fakta/fenomena yang satu dengan fakta yang lain pada sekumpulan fakta-fakta.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu teori adalah suatu konseptualitas antara asumsi, konstruk, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena yang diperoleh melalui proses sistematis, dan harus dapat diuji kebenarannya, bila tidak maka itu bukan teori. Teori semacam ini mempunyai dasar empiris, dimana harus melalui proses eksperimen, penelitian atau observasi, sehingga teori dapat dikatakan berhasil. Adapun pengertian dari Asumsi, konsep, konstruk dan proposisi dalam sebuah teori (menurut Djojosuroto kinayati & M.L.A Sumayati: 2004) adalah sebagai berikut:
1.      Asumsi adalah suatu anggapan dasar tentang realita, harus diverifikasi secara empiris. Asumsi dasar ini bisa memengaruhi cara pandang peneliti terhadap sebuah fenomena dan juga proses penelitian secara keseluruhan, karena setiap penelitian pasti menggunakan pendekatan yang berbeda sehingga asumsia dasarnya pun berbeda pada setiap penelitian.
2.      Konsep adalah istilah, terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan suatu gejala atau menyatakan suatu ide (gagasan ) tertentu.
3.      Konstruk adalah konsep yang ciri-cirinya dapat diam langsung seperti pemecahan masalah.
4.      Proposisi adalah hubungan yang logis antara dua konsep.

Menurut Mark 1963, dalam (Sugiyono,2012) membedakan adanya tiga macam teori. Ketiga teori yang dimaksud ini berhubungan dengan data empiris, teori ini antara lain:
1.      Teori yang Deduktif: memberi keterangan yang dimulai dari suatu perkiraan, atau pikiran spekulatis tertentu kearah data akan diterangkan.
2.      Teori Induktif: cara menerangkan adalah dari data ke arah teori. Dalam bentuk ekstrim titik pandang yang positivistik ini dijumpai pada kaum behaviorist 
3.      Teori fungsional: disini nampak suatu interaksi pengaruh antara data dan perkiraan teoritis, yaitu data mempengaruhi pembentukan teori dan pembentukan teori kembali mempengaruhi data. Teori adalah alur logika atau penalaran, yang merupakan seperangkat konsep, definisi, dan proposisi yang disusun secara sistematis. Menurut (Sugiyono,2012) fungsi teori secara umum adalah:
a.       Menjelaskan (explanation). Misalnya, Mengapa air yang mendidih pada suhu 100°C bisa menguap, dapat dijawab dengan teori yang berfungsi menjelaskan.
b.      Meramalkan (prediction). Misalnya, bila air didihkan pada suhu 100°C berapa besar penguapannya, dapat dijawab dengan teori yang berfungsi meramalkan/memperkirakan.
c.       Pengendali (control). Misalnya, berapa jarak sambungan rel kereta api yang paling sesuai dengan kondisi iklim indonesia, sehingga kereta api jalannya tidak terganggu, dapat dijawab dengan teori yang berfugsi mengendalikan.
Deskripsi teori adalah suatu rangkaian penjelasan yang mengungkapkan suatu fenomena atau realitas tertentu yang dirangkum menjadi suatu konsep gagasan,  pandangan, sikap dan atau cara-cara yang pada dasarnya menguraikan nilai-nilai serta maksud dan tujuan tertentu yang teraktualisasi dalam proses hubungan situasional, hubungan kondisional, atau hubungan fungsional di antara hal-hal yang terekam dari fenomena atau realitas tertentu. Dengan menyelam jauh ke dalam deskripsi teori, akan diketahui kekuatan dan kelemahan suatu teori. Dalam suatu penelitian, deskripsi teori merupakan uraian sistematis tentang teori dan hasil penelitian yang relevan dengan variabel yang diteliti. Berapa jumlah teori yang

B.     Konteks dalam Pemelajaran Bahasa
Konteks adalah bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian.Sementara Purwo (2001:4) menjelaskan konteks adalah pijakan utama dalam analisis pragmatik.Konteks ini meliputi penutur dan petutur, tempat, waktu, dan segala sesuatu yang terlibat di dalam ujaran tersebut.Preston (dalam Supardo, 2000:46) menjelaskan bahwa konteks sebagai seluruh informasiyang berada disekitar pemakai bahasa termasuk pemakaianbahasa yangada disekitarnya.Dengan demikian, hal-hal seperti situasi, jarak tempat dapat merupakan konteks pemakaian bahasa.
Hal ini menekankan pentingnyakonteks dalam bahasa, yaitu dapat menentukan makna dan maksud suatu ujaran.Supardo (2000:46) membagi konteks menjadi konteks bahasa (linguistik) dan konteks di luar bahasa (nonlinguistik).Konteks bahasa berupa unsur yang membentuk struktur lahir, yakni bunyi, kata, kalimat, dan ujaran atau teks.Konteks nonbahasa adalah konteks yang tidak termasuk unsur kebahasaan.
Berbeda dengan ahli-ahli di atas, Hymes (via Sudaryat, 2009:146-150) menjabarkan konteks menjadi delapan jenis pertama latar (setting, waktu, tempat) yaitu mengacu pada tempat (ruang-space) dan waktu atau tempo (ritme) terjadinya percakapan. Kedua peserta (particip ant) mengacu pada peserta percakapan,yakni pembicara dan pendengar.Ketiga hasil (ends) mengacu pada hasil percakapan dan tujuan percakapan. Keempat amanat (message) mengacu pada bentuk dan isi amanat. Kelima cara (key), mengacu pada semangat melaksanakan percakapan. Keenam sarana (instrument), jalur (chanel) mengacu pada apakah pemakaian bahasa dilaksanakan secara lisan atau tulis dan mengacu pula pada variasi bahasa yang digunakan. Ketujuh norma mengacu pada perilaku peserta percakapan.Kedelapan jenis atau genre yaitumengacu pada kategori bentuk dan ragam bahasa.
Konteks dapat berupa orang atau benda, tempat, waktu, bahasa, alat, dan tindakan. Konteks berupa orang adalah siapa yang berbicara dan dengan siapa ia berbicara. Konteks berupa tempat adalah di mana ujaran tersebut 10 diucapkan, bagaimana kondisi masyarakatnya dan norma yang ada di masyarakat. Konteks berupa waktu adalah kapan ujaran tersebut diucapkan dan dalam situasi bagaimana.Konteks berupa bahasa adalah bahasa yang mendahului peristiwa tutur tersebut.Konteks berupa tindakan adalah seluruh perbutan yang berupa unsur di luar bahasa.
Dahulu, ahli-ahli Bahasa menganalisis kalimat di luar konteks.Arti atau makna dari sebuah kalimat sebenarnya barulah dapat dikatakan benar bila kita ketahui siapa pembicaranya, siapa pendengarnya bila diucapkan dan lain-lain.
Oleh sebab itulah, ahli wacana menganalisis kalimat-kalimat itu dengan menganalisis konteksnya lebih dahulu.Ahli analisis wacana memperlakukan datanya sebagai teks yang berada dalam satu konteks.
Filmore mengatakan:
The task is to determine what we can know about the meaning and context of an utterance given only the knowledge that the unterance has occurred … I find that whenever I notice some sentences in context, immediately find myself asking what the effect would have been if the context had been slightly different. (1997:199).
Dari pernyataan Fillmore ini, kita ketahui betapa pentingnya konteks itu untuk menentukan makna suatu ujaran. Bila konteks berubah, berubah pulalah makna ini:
1.      Pembicara        : seorang ibu
Pendengar       : seorang bapak
Tempat            : di rumah sendiri
Situasi             : sedang menunggu anaknya kembali dari warung karena
disuruh membeli sesuatu.
            Waktu             : pukul 10.00 pagi.
            Si anak kembali dan si ibu mengatakan : cepat sekali engkau kembali.
      Kalimat ini sungguh menyatakan tentang cepatnya si anak kembali dari warung tersebut. Tetapi bila hal ini terjadi pada:
2.      Pembicara        : seperti di atas
Pendengar       : seperti di atas
Tempat            : seperti di atas
Situasi             : menunggu anaknya yang belum kembali dari rumah
temannya.
            Waktu             : pukul 24.30 malam.
Kalimat: “Cepat sekali engkau kembali”, dengan arti kesalahan karena anaknya terlambat benar kembali tak dapat diterangkan secara semantic konvensional. Ini harus diterangkan secara pragmatic, karena kata-kata dan kalimatnya secara semantic tidak memperlihatkan arti seperti tersebut di atas. Atau dengan kata lain, harus diketahui konteksnya lebih dahulu barulah dapat diketahui artinya. Jadi, begitu pentingnya mengetahui konteks itu sehingga mengakibatkan perbedaan yang mencolok Antara dua kalimat yang sama tetapi berbeda konteksnya.
Konteks pemakaian Bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu:
1.      Konteks fisik (physical context) yang meliputi tempat terjadinya pemakaian Bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu dan tindakan atau perilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi itu.
2.      Konteks epistemis (epistemic context) atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara ataupun pendengar.
3.      Konteks linguistic (linguistics context) yang terdiri atas kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi.
4.      Konteks social (social context) yaitu relasi social dan latar setting yang melengkapi hubungan Antara pembicara (penitur) dengan pendengar (Imam Syafi’ie 1990:126).

Keempat konteks tersebut mempengaruhi kelancaran komunikasi.Ciri-ciri konteks harus dapat diidentifikasikan untuk menangkap pesan si pembicara.Mula-mula, kita lihat betapa pentingnya pemahaman tentang konteks linguistic (3).Karena dengan itu kita dapat memahami dasar suatu tuturan dalam suatu komunikasi.Tanpa mengetahui struktur Bahasa dan wujud pemakaian kalimat tentu kita tidak dapat berkomunikasi dengan baik.Namun, pengetahuan tentang struktur Bahasa itu saja jelas tidak cukup. Ini harus dilengkapi lagi dengan pengetahuan konteks fisiknya (1), yaitu di mana komunikasi itu terjadi, apa objek yang dibicarakan, dan begitu juga bagaimana tindakan pembicara.
      Ditambah lagi, pengetahuan tentang konteks social (4), yaitu bagaimana hunungan Antara si pembicara dan si pendengar dalam “lingkungan sosialnya”.Dan yang terakhir haruslah dipahami pula konteks epistemiknya (2), yaitu pemahaman yang sama-sama dipunyai oleh pembicara dan pendengar. Kalau si pembicara mengemukakan (X) umpamanya, dan si pendengar tidak mengatahui apa (X) itu, komunikasi akan macet, seperti kalau kita membicarakan tentang kalimat dengan anak yang baru masuk SD tentu komunikasi akan macet karena si pendengar (anak tersebut) tidak memahami konteks epistemic tersebut.

1.      Ciri-ciri konteks
Sudah kita bicarakan di bawah dalam tiap-tiap peristiwa percakapan (tutur) itu, selalu terdapat factor-faktor yang mengambil peranan dalam peristiwa itu seperti penutur, lawan bicara, pokok pembicaraan, tempat bicara dan lain-lain. Si pembicara akan memperhitungkan dengan siapa dia bicara, tentang apa yang dibicarakan di mana dibicarakan, bila dibicarakan, situasi bicara dan lain-lain yang akan membagi warna terhadap pembicaraan itu. Keseluruhan peristiwa itu disebut speech event (peristiwa tutur).
Peristiwa semacam itu, jelas terlihat pada suatu diskusi karena di situ akan terlihat:
a.       Tempat diskusi,
b.      Peserta diskusi,
c.       Suasana diskusi,
d.      Tujuan diskusi,
e.       Aturan diskusi,
f.       Ragam diskusi.
Dan bermacam-macam factor lain yang terdapat dalam diskusi itu.

Dell Hymes (1972), seorang pakar linguistik terkenal menjelaskan, bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang apabila huruf-huruf pertamannya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen tersebut adalah:
S (= Setting and scene)
P (=Participants)
E (= Ends : Purpose and goal)
A (= Act sequences)
K (= Key : tone or spirit of act)
I (= Instrumentalities)
N (=Norms of Interaction and interpretation)
G (= Gennres)
Pada bukunya yang lain, Hymes (1964) mencatat tentang ciri-ciri konteks yang relavan itu adalah:
a.       Advesser (pembicara)
b.      Advesee (pendengar)
c.       Topic pembicaraan
d.      Setting (waktu, tempat)
e.       Channel (penghubungnya: bahan tulisan, lisan dan sebagainya).
f.       Code (dialeknya, stailnya)
g.      Massage from (debat, diskusi, seremoni agama)
h.      Event (kejadian)
(Gillian Brown 1983:89)

Contoh Konteks dalam Pemelajaran Bahasa
Untuk mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan konteks baiklah kita berikan dahulu sebuah contoh:
a.       Dengan pemogokan kami yang hanya tiga jam itu, telah menyebabkan majikan menyetujui tuntutan buruh, dengan mengeluarkan Ketua Cabang dari perusahaan. Kurasa majikan tidak rugi apa-apa.
b.      Ketua berhenti atau tidak, takada arti apa-apa buat majikan. Itulah dampaknya yang kulihat. Tinggal sekarang organisasi harus mencari ketua baru yang takdapat disuap. Siapa yang akan dicalonkan dan bagaimana caranya aku belum tau.
c.       Hanya kata Otong, anggota-anggota mencalonkan ketua ranting, Masrun menjadi Ketua Cabang, sebab dia benar- benar akan membela kepentingan buruh. Dan Otong akan menggantikan sebagai Ketua Ranting.

Di teks kedua, banyak yang tidak kita pahami kalau tidak ada teks pertama.Kata “ketua” pada teks itu tidak jelas pada teks itu.Begitu juga kata “majikan”, organisasi. Makna dan apa yang jadi referensi dari kata-kata itu kita ketahui kalau kit abaca teks pertama. Ketua yang dimaksud adalah Ketua Cabang, majikan adalah buruh-buruh itu, dan organisasi tentulah organisasi buruh-buruh itu juga.
Begitu juga di teks ketiga. Kata-kata anggota, Ketua Ranting, Ketua Cabang, buruh akan jelas referensinya kalau kit abaca teks sebelumnya. Kata anggota pada teks ini adalah anggota organisasi buruh itu, Ketua Ranting adalah ketua ranting organisasi mereka dan demikian juga Ketua Cabang adalah ketua cabang organisasi buruh itu.
Teks-teks pendamping teks yang ada jelas teks sebelumnya kita namakan konteks.Teks pertama tentu tidak mempunyai konteks karena seperti kita katakana, konteks itu adalah teks sebelumnya.
Seperti pada teks-teks itu, kata-kata diterangkan oleh konteksnya maka interpretasi terhadap sebuah tuturan di dalam sebuah teks diterangkan oleh tuturan sebelumnya. Perhatikanlah contoh di bawah ini:
Pak Ridwan sedang duduk-duduk di ruang tamunya bersama istri dan anaknya. Dia mengambil surat kabar yang terletak di atas meja. Istrinya berdiri dan membuka jendela.Anaknya yang berumur 10 tahun itu sedang menekuni bacaannya.

Jelaslah “Dia” pada kalimat kedua harus kita interpretasikan sebagai “Pak Ridwan”.Meja yang juga terdapat di kalimat kedua jelas terdapat dalam ruang itu.Istrinya pada kalimat ketiga jelas mesti istri Pak Ridwan yang telah disebutkan pada kalimat pertama, dan jendela itu juga mestilah yang ada pada ruangan itu.“Anaknya” pada kalimat keempat mestilah kata interpretasikan sebagai “anaknya” pada kalimat pertama.Dari contoh ini, kelihatan bahwa kata-kata atau tuturan diterangkan oleh kata atau tuturan sebelumnya seperti sebuah kata pada sebuah teks diterangkan oleh teks sebelumnya.
Terkadang, sebuah kata malah menunjuk kepada seluruh konteks yang ada sebelumnya. Perhatikan contoh surat di bawah ini.
Medan, 10 September 2009
Kepada Sdr. Abd Rahim
Yang terhormat,
Dengan ini saya beritahukan kepada Saudara bahwa buku yang Saudara pesan itu dudah saya kirimkan. Harganya Rp. 65.000,00
Tentang makalah-makalah yang saya janjikan itu masih saya usahakan.Beberapa sudah dapat saya kumpulkan.
Kalau tidak ada halangan, saya sendiri akan dating ke tempat Saudara pada hari Minggu tgl. 24 ini.
Hal si Jasmine, seperti Saudara ketahui sudah berangkat ke luar negeri.
Suratnya baru saya terima.
Sekian saya kabarkan kepada Saudara agar Saudara maklum.
Wassalam,

Amin.

Kata sekian pada kalimat itu menunjuk kepada seluruh teks-teks sebelumnya.Teks “sekianlah…” itu mempunyai konteks empat buah. Dan makna sekian tidak kita pahami tan pa membaca atau mengetahui konteksnya yang empat buah itu.