SEJARAH SASTRA INDONESIA
SEJARAH
SASTRA INDONESIA
Sastra Indonesia adalah sebuah istilah
yang melingkupi berbagai macam karya di Asia Tenggara. Istilah “Indonesia”
sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam cakupan geografi
dan sejarah politik di wilayah tersebut. Sastra Indonesia sendiri dapat merajuk
pada sastra yan g dibuat di wilayah
kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas
dirujuk kepada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan Bahasa Melayu
(dimana bahasa Indonesia adalah satu turunannya). Dengan pengertian kedua maka
sastra ini dapat juga diartikan sebagai
sastra yang dibuat di wilayah Melayu (selain Indonesia, terdapat juga beberapa
Negara berbahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei), demikian pula bangsa
Melayu yang tinggal di Singapura.
ANGKATAN
45
Tahun 45 adlah tahun proklamasi
kemerdekaan yang seharusnya membanggakan, tapi tahun itu bertalian pula dengan
kejadian-kejadian yang tidak semuanya menyenangkan, mulai dari pembunuhab,
(deri kedua belah pihak), penculikan,korupsi, pemberontakan dan lain-lain.
Revolusi dari sudut ini kita bisa dilihat dalam “novel” Idrus Surabaya dab analisa Syahrir dalam Perjuangan Kita, satu kritikan hebat
terhadap pemuda dan pemimpin yang dilihat Syahrir terpengaruh oleh Jepang dan
melakukan cara-cara fasis dalam perjuangan kemerdekaan. Dengan mengakui adanya
kelemahan-kelemahan ini, sebaliknya orang suka nama angkatan 45, tetap melihat
bahwa tahun itu sebagai tahun yang mulia
dan perjuangan kebangsaan Indonesia. Dan orang selalu melihat baberapa pemuka
angkatan 45dari sesuatu sudut dan mengurangi harganya dari sudut lain. Bicara
tentang Chairil Anwar orang Cuma ingat pada “aku binatang jalang” dan tidak ada
yang ingat pada sajak-sajaknya “Dipenegoro”, “Beta Pattirajawane”,”Kenanglah
Kami” (Krawang Bekasi). Sajak-sajaknyayang terlahir dari pesan hidup yang dalam
ditafsirkan dengan cara yang dangkal. Tenaga kata-kata yang mengandung
pikiran-pikiran paling dalam dianggap kurang dari perjuangan dengan senjata ,
padahal bahasa hati tidak kurang meresapkan arti kemerdekaan. Bagi sebagian
orang jadi kecurigaan mengapa dipilih nama 45, sedangkan angka itu hanya satu
saat, perkembangan telah berlaku sebelum itu dan sesudahnya. Bahkan nama itu
baru didapatkan tahun 49 dan buat pertama kali dilansir dalam majalah Siasat (9 Januari 1949) oel Rosihan
Anwar. Rosihan memakainama itu setelah mengemukakan, bahwa “Kemerdekaan adalah
syarat yang mutlak untuk perkembangan-perkembangan kebudayaan yang sejati sesuatu bangsa” dan menarik
kesimpulan: “Oleh karena itulah buat Angkatan 45 menjadi sangat penting sekali Kemerdekaan
itu, Angkatan 45 itu disebutnya juga “Angkatan Kemerdekaan” sebelum angatan 45
jadi popular, orang menyebutnya, “Angkatan Chairil Anwar”, Angkatan Perang.
Angkatan sesudah Perang, Angkatan sesudah Pujangga Baru, Generasi Gelanggang,
dan pula orang mengemukakan, Angkatan Pembebasan. Nyata bahwa di masa Jepang
telah timbul satu angkatan yang merasa lain dari Pujangga Baru, perlainan mana
sangat jelas pada Chairil Anwar, mengenai pandangan hidup, sikap hidup, rasa
hidup pengucapan dalam persajakan. Idrus belum dikenal Pujangga Baru dalam
bentuk demikian dalam persoalannya, meskipun ada orang yang mau melihat
permulaan kesoalan dalam belenggu Armijn
Pane . Juga Ida Nasution yang menggunakan prosa yang bersifat lain dari
sebelumnya, oleh kepadatannya dan kelangsungan pengucapannya. Apakah mereka ini
harus terus bernama Pujangga Baru, sedangkan mereka dalam penggunaan bahasa dan
pandangan hidup sudah lain dari Pujangga Baru ? Tahun Angkatan 45 adalah satu saat
perpaduannya Indonesia sebagai bangsa dan memperkenalkannya pada dunia. Semenjak
Jepang datang orang hidup dalam tekanan dan siapa berani proklamirkan
kemerdekaan ? Orang hidup dalam serba kompromi dan ini yang saya maksud dengan
sifat “bunglon” dalam kata pendahuluan Kesusastraan
Indonesia dimasa Jepang. Juga takdir tidak lepas dari kompromi waktu
menjalin Niku dan bekerja dalam ikatan instansi Jepang, tapi kita percaya tentu
bukan tiada perjuangan batin sama sekali, apalagi waktu itu takdir memperdalam
pengetahuan tentang filsafat. Diapun cari perlindungan dalam batinnya sendiri.
Hanya Chairil Anwarlah yang berani proklamirkan kemerdekaan pribadinya dalam
sajak “Aku” dengan jeritan terkenal: “Aku binatang jalang”. Bagi saya titik
berat perbedaan antara angkatan sebelum dan sesudah perang terletak pada gaya
bahasa. Bagaimanapun berlain-lainnya visi antara sesama Angkatan 45, dalam
suatu hal mereka sama, yakni dalam gaya anarkis Chairil Anwar, moralis Asrul
Sani, maupun nihilis Rivai Apin, yang kemudian ini dalam pengertian bahwa dia
tidak (belum) mendapatkan nilai hidup, mereka semua punya gaya ekspresi yang
mendarah daging. Kemudian Pujangga Baru mencoba memperoleh “keindahannya” ini
dengan segala bunga kata. Pada hakekatnya Pujangga Baru boleh mengatakan bahwa
apa yang dimaui Angkatan 45, juga dalah kemauannya, tapi rupanya kemauan itu
belum jadi kepunyaan fitri yang mendarah daging. Dalam pada itu pun antara
Angkatan 45 sendiri banyak yang tidak setuju dengan nama itu. Keraguan-keraguan
memakai nama Angkatan 45 disebabkan karena tidaka ada keatuan perumusan tentang Angkatan 45 dan syarat
apakah yang dipakai untuk bisa menggolongkan seseorang pada Angkatan 45.
Singkat saja yaitu: gaya ekspresi yang mendarah daging, unuversil-nasionalis,
revolusioner, dalam sikap hidup dan visi. Itu semua kita dapati pada tokoh
Chairil Anwar sebagai pelopor angkatan 45. Angkatan 45 adalah angkatan yang
oleh kejadian-kejadian sejarah dan masyarakat mendapat perdalaman sampai
keintipati soal,terlepas dati pandangan hidup konvensionil. Mereka temukan
kombinasi-kombinasi baru dalam pikiran yang bersifat revolusioner terhadap
pandangan hidup lama. Berbicara tentang Pujangga Baru, perlu dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan Pujangga Baru dalam karangan ini, ialah Pujangga Baru
sebelum perang yang disebut juga Angkatan 33. Semenjak Maret 1948 majalah
Pujangga Bru terbit kembali sesudah enam tahun berdiam diri dan berkat kegiatan
pemimpinnya Takdir Alisjahbana, majalah itu berangsur-angsur maju kembali
dengan pemberbaru tenaga-tenaga yang ada di dalamnya dengan tenaga-tenaga
Angkatan 45. Memang Angkatan 45 bukan satu perkumpulan yang perlu orang hanya
bayar kontribusi untuk diakuai sebagai anggota.angkatan 45 mewakili satu gaya,
satu sikap, satu visi, satu alampikiran. Antara angkatan Pujangga Baru dan
Angkatan 45 sesungguhnya tidak ada pertentangan, hanya ada perbedaan, tapi
perbedaan itu sangat nyata beralasan perlainan rasa hidup.Angkatan 45 sudah
memproklamirkan dirinya ada dan dengan demikian telah menggantikan Pujangga
Baru, meskipun terbit kembali majalah Pujangga
Baru. Seorang Arimijn Pane, Sanusi Pane, Amir Hamzah, atau Takdir
Alisjahbana sekalipun dalam kesempatan yang sama dengan Chairil Anwar, tidak
akan bisa melahirkan satu angkatan yang begitu nyata lain dari Pujangga Baru.
Mereka akan tetap punua corak Pujangga Baru, karena gaya ekspresi yang mendarah
daging dan nafsu hidup yang intens mereka tidak punya seperti ChairilAnwar.
Meskipun punya gaya yang sama, dan visi tentang seni dan kehidupan Asrul agak
beda dari Chairil Anwar “Deadlock pada puisi emosi semata” adalah esei Asrul
yang bikin perhitungan dengan diri sendiri, menentang tanggapan Chairil – dan
dekat pada dia juga Rivai – mengenai pendasaran persajakan.
ANGKATAN
PUJANGGA BARU
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas
banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustakaterhadap karya tulis
sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut
rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra
intelektual, nasionalistik, dan elitis. Pada masa itu, terbit pula majalah
Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah
dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun
1930-1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Karyanya Layar Terkembang, menjadi salah satu
novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain Layar
Terkembang, pada periode ini novel Tenggelamnya
Kapal van der Wijck dan Kalau Tak
Untung menjadi karya terpenting sebelum perang.
Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga Baru yaitu:
·
Kelompok “seni untuk seni” yang dimotori
oleh Sanusi Pane dan Teuku Amir Hamzah
·
Kelompok “ senu untuk pembangun
masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan
Rustam Effendi
PENYAIR
LEGENDARIS INDONESIA (CHAIRIL ANWAR)
Puisi-puisi “si binatang jalang” Chairil
Anwar telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan bangsanya. Pria
kelahiran Medan, 26 Juli 1922, ini seorang penyair legendaries Indonesia yang
karya-karyanya hidup dalam batin (digemari) sepanjang zaman. Salah satu bukti
keabadian karyanya, pada Jum’at 8 Juni 2007, Chairil Anwar yang mwninggal di
Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi
(DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu diterima
puterinya, Evawani Alissa Chairil Anwar. Chairil memang penyair besar yang
menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk
perjuangan Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara
lain tercermin dari sajak bertajuk: “Krawang-Bekasi” yang disadurnya dari sajak
“The Young Dead Soliders”, karya Archibald Macleish (1948). Dia juga menulis
sajak “Persetujuan dengan Bung Karno”, yang merefleksikan dukungannya pada Bung
Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945. Bahkan sajaknya
yang berjudul “Aku” dan “Dipenegoro” juga banyak diapresiasi orang sebagai
sajak perjuangan. Kata aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai
dorongan kata hati rakyat Indonesia
untuk bebas merdeka. Chairil Anwar yang dikenal sebagai “Si binatang jalang”
(Aku) adalah pelopor Angkatan 45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata
dalam berpusi yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. Dia bersama Asrul Sani dan Rivai Apin
memelopori puisi modern Indonesia. Chairil Anwar meninggal pada usia muda,
Karena penyakit TBC dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak,
Jakarta. Hari meninggalnya diperingati sebagai hari Chairil Anwar. Chairil
menekuni pendidikan HIS dan MULO, walau pendidikan MULO-nya tidak tamat.
Puisi-puisinya digemari hingga saat ini. Salah satu puisinya yang paling
terkenal sering dideklamasikan berjudul “Aku” (“Aku mau hidup seribu tahun
lagi”). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam
bahasa Indonesi. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat
Gelanggang dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan Gelanggang Seniman Merdeka.
Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil
Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949), Deru Campur Debu(1949), Tiga Menguak
Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin), “Aku ini binatang jalang”
(1986), koleksi sajak 1942-1949, oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi
Djoko Damono (1986), Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya
diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).
CHAIRIL
ANWAR PELOPOR ANGKATAN 45
Chairil Anwar lahir di Medan , (Sumatera
Utara, 26 Juli 1922- wafat di Jkarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun) atau
dikenal sebagai “Si binatang jalang” (dalam karyanya yang berjudul Aku) adalah
penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan
oleh H.B Jassin sebagai pelopor Angkatan 45 dan puisi modern Indonesia.
Masa
kecil
Dilahirkan di Medan, Chairil Anwar merupakan anaka
tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, yang bekerja sebagai pamongpraja. Dan pihak
ibunya, Saleha dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Syahrir, Perdana
Menteri Indonesia. Chairil masuk sekolah Holland Indische School (HIS) sekolah
dasar untuk orang-orang pribumi waktu
penjajah Belanda. Dia mulai untuk meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs, sekolah menengah pertama Belanda, tetapi ia keuar sebelum
lulus. Pda usia Sembilan belas tahun, setelah penceraian orang tuanya , Chairil
pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana ia berkenalan dengan dunia sastra.
Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa
Belanda dan bahasa Jerman, dan ia mengisi jam-jamnya dengan membaca buku
pengarang inernasional ternama, seperti; Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald
MacLeish, H. Marsaman, J. Slaurholf dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini
sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan
kesusastraan Indonesia.
Masa
dewasa
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia
sastra setelah pemuatan tulisannya di “majalah nisan” pada tahun 1942, pada
saat itu ia baru berusia dua puluh tahun. Hamper semua puisi-puisi yang dia
tulis merujuk padakematian. Chairil ketika menjadi penyair radio Jepang di
Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi
hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk
mengungkapkannya. Semua tukisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga
dijiplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam
Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950), kumpulan
puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).
Akhir
Hidup
Vitalis puitis Chairil tidak pernah
didimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang
semrawut. Sebelum ia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, ia sudah
terkena penyakit TBC. Ia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak,
Jakarta. Makamnya diziarahai oleh ribuan pengagumbya dari zaman ke zaman. Hari
meninggalnya juga selalu diperingati sebagai hari Chairil Anwar.
Karya-karya
tentang Chairil Anwar
Chairil Anwar, memperingati 28 April
1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan, Kementerian
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (Jakarta, 1953) Boen S. Oemar jati,
“Chairil Anwar: The Poet and his Language” (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972).
Abdul Kadir Bakar, “Sekelimut Pembicaraan tentang Chairil Anwar” (Ujung Pndang:
Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-ilmu Satra, Fakultas Sastra,
Universitas Hasanudin, 1974) S.U.S Nababan, “A Lingustic Analysis of the Poetry
of Amir Hamzah and Chairil Anwar” (New York, 1976) Arief Budiman, “Chairil
Anwar: Sebuah Pertemuan” (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976) Robin Anne Ross, Some
Prominent Themes in the Poertry of Chairil Anwar, Auckland, 1976 H.B. Jassin,
“Chairil Anwar, pelopor Angkatan 45, disertai kumpulan hasiltulisannya”,
(Jkarta: Gunung Agung, 1983) Husain Junus, “Gaya bahasa Chairil Anwar” (Manado:
Universitas Sam Rutulangi, 1984) Rachmat Djoko Pradopo, “bahasa pisi penyair
utama sastra Indonesia modern” (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985) Sjumanjaya, “Aku:
berdasrkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jkakarta: Grafitipers,
1987) Pamusuk Eneste, “Mengenal Chairil Anwar” (Jakarta: Obor, 1995) Zaenal
Hakim, “Edisi kritis puisi Chairil Anwar” (Jakarta: Dian Rkyat, 1996)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar