Senin, 16 Juli 2012

SEJARAH SASTRA INDONESIA

SEJARAH SASTRA INDONESIA

Sastra Indonesia adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam karya di Asia Tenggara. Istilah “Indonesia” sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam cakupan geografi dan sejarah politik di wilayah tersebut. Sastra Indonesia sendiri dapat merajuk pada sastra yan g dibuat  di wilayah kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas  dirujuk kepada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan Bahasa Melayu (dimana bahasa Indonesia adalah satu turunannya). Dengan pengertian kedua maka sastra ini  dapat juga diartikan sebagai sastra yang dibuat di wilayah Melayu (selain Indonesia, terdapat juga beberapa Negara berbahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei), demikian pula bangsa Melayu yang tinggal di Singapura.

 ANGKATAN 45

Tahun 45 adlah tahun proklamasi kemerdekaan yang seharusnya membanggakan, tapi tahun itu bertalian pula dengan kejadian-kejadian yang tidak semuanya menyenangkan, mulai dari pembunuhab, (deri kedua belah pihak), penculikan,korupsi, pemberontakan dan lain-lain. Revolusi dari sudut ini kita bisa dilihat dalam “novel” Idrus Surabaya dab analisa Syahrir dalam Perjuangan Kita, satu kritikan hebat terhadap pemuda dan pemimpin yang dilihat Syahrir terpengaruh oleh Jepang dan melakukan cara-cara fasis dalam perjuangan kemerdekaan. Dengan mengakui adanya kelemahan-kelemahan ini, sebaliknya orang suka nama angkatan 45, tetap melihat bahwa tahun itu sebagai tahun  yang mulia dan perjuangan kebangsaan Indonesia. Dan orang selalu melihat baberapa pemuka angkatan 45dari sesuatu sudut dan mengurangi harganya dari sudut lain. Bicara tentang Chairil Anwar  orang Cuma  ingat pada “aku binatang jalang” dan tidak ada yang ingat pada sajak-sajaknya “Dipenegoro”, “Beta Pattirajawane”,”Kenanglah Kami” (Krawang Bekasi). Sajak-sajaknyayang terlahir dari pesan hidup yang dalam ditafsirkan dengan cara yang dangkal. Tenaga kata-kata yang mengandung pikiran-pikiran paling dalam dianggap kurang dari perjuangan dengan senjata , padahal bahasa hati tidak kurang meresapkan arti kemerdekaan. Bagi sebagian orang jadi kecurigaan mengapa dipilih nama 45, sedangkan angka itu hanya satu saat, perkembangan telah berlaku sebelum itu dan sesudahnya. Bahkan nama itu baru didapatkan tahun 49 dan buat pertama kali dilansir dalam majalah Siasat (9 Januari 1949) oel Rosihan Anwar. Rosihan memakainama itu setelah mengemukakan, bahwa “Kemerdekaan adalah syarat yang mutlak untuk perkembangan-perkembangan kebudayaan yang  sejati sesuatu bangsa” dan menarik kesimpulan: “Oleh karena itulah buat Angkatan 45 menjadi sangat penting sekali Kemerdekaan itu, Angkatan 45 itu disebutnya juga “Angkatan Kemerdekaan” sebelum angatan 45 jadi popular, orang menyebutnya, “Angkatan Chairil Anwar”, Angkatan Perang. Angkatan sesudah Perang, Angkatan sesudah Pujangga Baru, Generasi Gelanggang, dan pula orang mengemukakan, Angkatan Pembebasan. Nyata bahwa di masa Jepang telah timbul satu angkatan yang merasa lain dari Pujangga Baru, perlainan mana sangat jelas pada Chairil Anwar, mengenai pandangan hidup, sikap hidup, rasa hidup pengucapan dalam persajakan. Idrus belum dikenal Pujangga Baru dalam bentuk demikian dalam persoalannya, meskipun ada orang yang mau melihat permulaan kesoalan dalam belenggu Armijn Pane . Juga Ida Nasution yang menggunakan prosa yang bersifat lain dari sebelumnya, oleh kepadatannya dan kelangsungan pengucapannya. Apakah mereka ini harus terus bernama Pujangga Baru, sedangkan mereka dalam penggunaan bahasa dan pandangan hidup sudah lain dari Pujangga Baru ?  Tahun Angkatan 45 adalah satu saat perpaduannya Indonesia sebagai bangsa dan memperkenalkannya pada dunia. Semenjak Jepang datang orang hidup dalam tekanan dan siapa berani proklamirkan kemerdekaan ? Orang hidup dalam serba kompromi dan ini yang saya maksud dengan sifat “bunglon” dalam kata pendahuluan Kesusastraan Indonesia dimasa Jepang. Juga takdir tidak lepas dari kompromi waktu menjalin Niku dan bekerja dalam ikatan instansi Jepang, tapi kita percaya tentu bukan tiada perjuangan batin sama sekali, apalagi waktu itu takdir memperdalam pengetahuan tentang filsafat. Diapun cari perlindungan dalam batinnya sendiri. Hanya Chairil Anwarlah yang berani proklamirkan kemerdekaan pribadinya dalam sajak “Aku” dengan jeritan terkenal: “Aku binatang jalang”. Bagi saya titik berat perbedaan antara angkatan sebelum dan sesudah perang terletak pada gaya bahasa. Bagaimanapun berlain-lainnya visi antara sesama Angkatan 45, dalam suatu hal mereka sama, yakni dalam gaya anarkis Chairil Anwar, moralis Asrul Sani, maupun nihilis Rivai Apin, yang kemudian ini dalam pengertian bahwa dia tidak (belum) mendapatkan nilai hidup, mereka semua punya gaya ekspresi yang mendarah daging. Kemudian Pujangga Baru mencoba memperoleh “keindahannya” ini dengan segala bunga kata. Pada hakekatnya Pujangga Baru boleh mengatakan bahwa apa yang dimaui Angkatan 45, juga dalah kemauannya, tapi rupanya kemauan itu belum jadi kepunyaan fitri yang mendarah daging. Dalam pada itu pun antara Angkatan 45 sendiri banyak yang tidak setuju dengan nama itu. Keraguan-keraguan memakai nama Angkatan 45 disebabkan karena tidaka ada keatuan  perumusan tentang Angkatan 45 dan syarat apakah yang dipakai untuk bisa menggolongkan seseorang pada Angkatan 45. Singkat saja yaitu: gaya ekspresi yang mendarah daging, unuversil-nasionalis, revolusioner, dalam sikap hidup dan visi. Itu semua kita dapati pada tokoh Chairil Anwar sebagai pelopor angkatan 45. Angkatan 45 adalah angkatan yang oleh kejadian-kejadian sejarah dan masyarakat mendapat perdalaman sampai keintipati soal,terlepas dati pandangan hidup konvensionil. Mereka temukan kombinasi-kombinasi baru dalam pikiran yang bersifat revolusioner terhadap pandangan hidup lama. Berbicara tentang Pujangga Baru, perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pujangga Baru dalam karangan ini, ialah Pujangga Baru sebelum perang yang disebut juga Angkatan 33. Semenjak Maret 1948 majalah Pujangga Bru terbit kembali sesudah enam tahun berdiam diri dan berkat kegiatan pemimpinnya Takdir Alisjahbana, majalah itu berangsur-angsur maju kembali dengan pemberbaru tenaga-tenaga yang ada di dalamnya dengan tenaga-tenaga Angkatan 45. Memang Angkatan 45 bukan satu perkumpulan yang perlu orang hanya bayar kontribusi untuk diakuai sebagai anggota.angkatan 45 mewakili satu gaya, satu sikap, satu visi, satu alampikiran. Antara angkatan Pujangga Baru dan Angkatan 45 sesungguhnya tidak ada pertentangan, hanya ada perbedaan, tapi perbedaan itu sangat nyata beralasan perlainan rasa hidup.Angkatan 45 sudah memproklamirkan dirinya ada dan dengan demikian telah menggantikan Pujangga Baru, meskipun terbit kembali majalah Pujangga Baru. Seorang Arimijn Pane, Sanusi Pane, Amir Hamzah, atau Takdir Alisjahbana sekalipun dalam kesempatan yang sama dengan Chairil Anwar, tidak akan bisa melahirkan satu angkatan yang begitu nyata lain dari Pujangga Baru. Mereka akan tetap punua corak Pujangga Baru, karena gaya ekspresi yang mendarah daging dan nafsu hidup yang intens mereka tidak punya seperti ChairilAnwar. Meskipun punya gaya yang sama, dan visi tentang seni dan kehidupan Asrul agak beda dari Chairil Anwar “Deadlock pada puisi emosi semata” adalah esei Asrul yang bikin perhitungan dengan diri sendiri, menentang tanggapan Chairil – dan dekat pada dia juga Rivai – mengenai pendasaran persajakan.

ANGKATAN PUJANGGA BARU

Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustakaterhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik, dan elitis. Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930-1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Karyanya Layar Terkembang, menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain Layar Terkembang, pada periode ini novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Kalau Tak Untung menjadi karya terpenting sebelum perang.

Masa ini ada dua  kelompok sastrawan Pujangga Baru yaitu:

·         Kelompok “seni untuk seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Teuku Amir Hamzah

·         Kelompok “ senu untuk pembangun masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Rustam Effendi

 

PENYAIR LEGENDARIS INDONESIA (CHAIRIL ANWAR)

Puisi-puisi “si binatang jalang” Chairil Anwar telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan bangsanya. Pria kelahiran Medan, 26 Juli 1922, ini seorang penyair legendaries Indonesia yang karya-karyanya hidup dalam batin (digemari) sepanjang zaman. Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jum’at 8 Juni 2007, Chairil Anwar yang mwninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu diterima puterinya, Evawani Alissa Chairil Anwar. Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajak bertajuk: “Krawang-Bekasi” yang disadurnya dari sajak “The Young Dead Soliders”, karya Archibald Macleish (1948). Dia juga menulis sajak “Persetujuan dengan Bung Karno”, yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945. Bahkan sajaknya yang berjudul “Aku” dan “Dipenegoro” juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai dorongan  kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka. Chairil Anwar yang dikenal sebagai “Si binatang jalang” (Aku) adalah pelopor Angkatan 45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpusi yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat.  Dia bersama Asrul Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia. Chairil Anwar meninggal pada usia muda, Karena penyakit TBC dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Hari meninggalnya diperingati sebagai hari Chairil Anwar. Chairil menekuni pendidikan HIS dan MULO, walau pendidikan MULO-nya tidak tamat. Puisi-puisinya digemari hingga saat ini. Salah satu puisinya yang paling terkenal sering dideklamasikan berjudul “Aku” (“Aku mau hidup seribu tahun lagi”). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesi. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat Gelanggang dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan Gelanggang Seniman Merdeka.

Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949), Deru Campur Debu(1949), Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin), “Aku ini binatang jalang” (1986), koleksi sajak 1942-1949, oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986), Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).

 

CHAIRIL ANWAR PELOPOR ANGKATAN 45

Chairil Anwar lahir di Medan , (Sumatera Utara, 26 Juli 1922- wafat di Jkarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun) atau dikenal sebagai “Si binatang jalang” (dalam karyanya yang berjudul Aku) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B Jassin sebagai pelopor Angkatan 45 dan puisi modern Indonesia.

 

Masa kecil

Dilahirkan  di Medan, Chairil Anwar merupakan anaka tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, yang bekerja sebagai pamongpraja. Dan pihak ibunya, Saleha dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Syahrir, Perdana Menteri Indonesia. Chairil masuk sekolah Holland Indische School (HIS) sekolah dasar untuk orang-orang pribumi  waktu penjajah Belanda. Dia mulai untuk meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah menengah pertama Belanda, tetapi ia keuar sebelum lulus. Pda usia Sembilan belas tahun, setelah penceraian orang tuanya , Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana ia berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan ia mengisi jam-jamnya dengan membaca buku pengarang inernasional ternama, seperti; Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsaman, J. Slaurholf dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusastraan Indonesia.

 

Masa dewasa

Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di “majalah nisan” pada tahun 1942, pada saat itu ia baru berusia dua puluh tahun. Hamper semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk padakematian. Chairil ketika menjadi penyair radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Semua tukisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga dijiplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950), kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).

 

Akhir Hidup

Vitalis puitis Chairil tidak pernah didimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum ia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, ia sudah terkena penyakit TBC. Ia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahai oleh ribuan pengagumbya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai hari Chairil Anwar.

 

Karya-karya tentang Chairil Anwar

Chairil Anwar, memperingati 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (Jakarta, 1953) Boen S. Oemar jati, “Chairil Anwar: The Poet and his Language” (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972). Abdul Kadir Bakar, “Sekelimut Pembicaraan tentang Chairil Anwar” (Ujung Pndang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-ilmu Satra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanudin, 1974) S.U.S Nababan, “A Lingustic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar” (New York, 1976) Arief Budiman, “Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan” (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976) Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poertry of Chairil Anwar, Auckland, 1976 H.B. Jassin, “Chairil Anwar, pelopor Angkatan 45, disertai kumpulan hasiltulisannya”, (Jkarta: Gunung Agung, 1983) Husain Junus, “Gaya bahasa Chairil Anwar” (Manado: Universitas Sam Rutulangi, 1984) Rachmat Djoko Pradopo, “bahasa pisi penyair utama sastra Indonesia modern” (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985) Sjumanjaya, “Aku: berdasrkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jkakarta: Grafitipers, 1987) Pamusuk Eneste, “Mengenal Chairil Anwar” (Jakarta: Obor, 1995) Zaenal Hakim, “Edisi kritis puisi Chairil Anwar” (Jakarta: Dian Rkyat, 1996)

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar